Kerja
Rodi
Kerja Rodi memiliki arti kerja tanpa upah,
tanpa istirahat demi membangun sebuah benteng dan jalan raya, tanpa membantah
apa yang telah diperintahkan oleh tentara Belanda, dan menuruti apa yang
diperintahkannya.
Setelah lebih kurang 200 tahun berkuasa,
akhirnya VOC (Kompeni) mengalami kemunduran dan kebangkrutan. Hal ini
disebabkan banyak biaya perang yang dikeluarkan untuk mengatasi perlawanan
penduduk, terjadinya korupsi di antara pegawai-pegawainya, dan timbulnya
persaingan dengan kongsi-kongsi dagang yang lain. Faktorfaktor itulah, akhirnya
pada tanggal 31 Desember 1799, secara resmi VOC dibubarkan. Kekuasaan VOC
kemudian diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda. Hal ini secara tidak
langsung memengaruhi koloni Belanda di Indonesia. Perubahan politik yang
terjadi di Belanda, merupakan pengaruh revolusi yang dikendalikan oleh Prancis.
Dalam revolusi tersebut, kekuasaan raja
Willem V runtuh, dan berdirilah Republik Bataaf. Tidak lama kemudian Republik Bataaf
juga dibubarkan dan Belanda dijadikan kerajaan di bawah pengaruh Prancis, sebagai rajanya adalah Louis Napoleon. Pada tanggal
1 Januari 1808 Louis Napoleon kemudian mengirim Herman
Willem Daendels sebagai gubernur jenderal dengan tugas utama
mempertahankan pulauJawa dari ancaman Inggris. Juga diberi tugas mengatur pemerintahan di Indonesia.
Pada tanggal 15 Januari 1808
Daendels menerima kekuasaan dari Gubernur Jenderal Weise. Daendels dibebani
tugas mempertahankan Pulau Jawa dari serangan Inggris, karena Inggis telah
menguasai daerah kekuasaan VOC di Sumatra, Ambon, dan Banda. Sebagai gubernur
jenderal, langkah-langkah yang ditempuh Daendels, antara lain:
1) Meningkatkan
jumlah tentara dengan jalan mengambil dari berbagai suku bangsa di Indonesia.
2) Membangun
pabrik senjata di Semarang dan Surabaya.
3) Membangun
pangkalan armada di Anyer dan Ujung Kulon.
4) Membangun
jalan raya dari Anyer hingga Panarukan, sepanjang ± 1.100 km.
5) Membangun
benteng-benteng pertahanan.
Dalam rangka mewujudkan langkah-langkah tersebut Daendels
menerapkan sistem kerja paksa (rodi). Selain menerapkan kerja paksa Daendels
melakukan berbagai usaha untuk mengumpulkan dana dalam menghadapi Inggris.
Langkah tersebut antara lain:
1. Mengadakan
penyerahan hasil bumi (contingenten).
2. Memaksa
rakyat-rakyat menjual hasil buminya kepada pemerintah Belanda dengan harga
murah (verplichte leverantie).
3. Melaksanakan
(Preanger Stelsel), yaitu
kewajiban yang dibebankan kepada rakyat Priangan untuk menanam kopi.
4. Menjual
tanah-tanah negara kepada pihak swasta asing seperti kepada Han Ti Ko seorang
pengusaha Cina.
Kebijakan yang diambil Daendels sangat berkaitan dengan tugas
utamanya yaitu untuk mempertahankan Pulau Jawa dari serangan pasukan
Inggris.Berikut ini kebijakan-kebijakan yang diberlakukan Daendels terhadap
kehidupan rakyat.
a. Semua pegawai pemerintah menerima gaji tetap dan mereka dilarang
melakukan kegiatan perdagangan.
b. Melarang penyewaan desa, kecuali untuk memproduksi gula, garam,
dan sarang burung.
c. Menerapkan sistem kerja
paksa (rodi) dan membangun ketentaraan dengan melatih orangorang
pribumi.
d. Membangun
pelabuhan-pelabuhan dan membuat kapal perang berukuran kecil.
Pemerintahan
Daendels (1808-1811)
|
- menambah jumlah prajurit,
- membangun pabrik senjata, kapal-kapal baru, dan pos-pos pertahanan,
- membangun jalan raya yang menghubungkan pos satu dengan pos lainnya.
Untuk menjalankan pemerintahan di Indonesia diangkatlah
gubenur jendral Daendels. Daendels tiba di Indonesia pada tanggal 1 Januari
1808. Daendels kemudian mengadakan banyak tindakan. Salah satu tindakan
Daendels yang terkenal adalah dalam bisang sosial ekonomi. Beberapa tindakan
itu antara lain sebagai berikut.
Þ Meningkatkan usaha pemasukan uang dengan cara
pemungutan pajak.
Þ Meningkatkan penanaman tanaman yang hasilnya
laku di ‘pasaran dunia.
Þ Rakyat masih diharuskan melaksanakan
penyerahan wajib hasil pertaniannya.
Þ Untuk menambah pemasukan dana, juga telah
dilakukan penjualan tanah-tanah kepada pihak swasta.
Daendels memerintah dengan keras dan kejam, sehingga
menimbulkan reaksi dari rakyat. Salah satunya, perlawanan dari rakyat Sumedang
dibawah pimpinan Pangeran Kornel atau Pangeran Surianegara Kusumaddinata
(1791-1828), seorang bupati Sumedang. Perlawanan karena rakyat dipaksa bekerja
dengan perlengkapan sederhana untuk membuat jalan melalui bukit yang penuh batu
cadas. Daerah tersebut sekarang dikenal dengan nama Cadas Pangeran.
Pada saat
Daendels memerintah, ia
bertindak keras terhadap raja-raja di Jawa. Tetapi kurang strategis sehingga
mereka menyimpan dendam kepadanya. Di mata Daendels, semua raja pribumi harus
mengakui raja Belanda sebagai junjungannya dan minta perlindungan kepadanya.
Bertolak dari konsep ini, Daendels mengubah jabatan pejabat Belanda di kraton
Solo dan kraton Yogya dari residen menjadi minister.
Minister tidak lagi bertindak sebagai pejabat Belanda
melainkan sebagai wakil raja Belanda dan juga wakilnya di kraton Jawa. Oleh
karena itu Daendels membuat peraturan tentang perlakuan raja-raja Jawa kepada
para Minister di kratonnya. Jika di zaman VOC para residen Belanda diperlakukan
sama seperti para penguasa daerah yang menghadap raja-raja Jawa, dengan duduk
di lantai dan mempersembahkan sirih sebagai tanda hormat kepada raja Jawa,
Minister tidak layak lagi diperlakukan seperti itu. Minister berhak duduk
sejajar dengan raja, memakai payung seperti raja, tidak perlu membuka topi atau
mempersembahkan sirih kepada raja, dan harus disambut oleh raja dengan berdiri
dari tahtanya ketika Minister datang di kraton. Ketika bertemu di tengah jalan
dengan raja, Minister tidak perlu turun dari kereta tetapi cukup membuka
jendela kereta dan boleh berpapasan dengan kereta raja. Meskipun di Surakarta
Sunan Paku Buwono IV menerima ketentuan ini, di Yogyakarta
Sultan Hamengku
Buwono II tidak mau
menerimanya. Daendels harus menggunakan tekanan agar Sultan Yogya bersedia
melaksanakan aturan itu.Tetapi dalam hati kedua raja itu tetap tidak terima
terhadap perlakuan Daendels ini. Jadi ketika orang-orang Inggris
datang, maka mereka bersama-sama dengan para raja "mengkhianati"
orang Belanda.
Pertentangan pun terjadi dengan
Kerajaan Mataram Ngayogyakarta. Dengan menggunakan politik Devide et Impera
seperti yang dilakukan VOC Sultan Hamengkubuwono di pecat kemudian digantikan
oleh Sultan Sepuh. Kemudian daerah Ngayogyakarta diperkecil. Upaya untuk
mengumpulkan uang, Daendels menjual tanah-tanah partikelir kepada orang
Belanda, Tionghoa dan Arab. Akibatnya para pemilik tanah tersebut dapat
menghisap tenaga rakyat karena memiliki hak-hak istimewa.
Berbeda dengan
apa yang dipercaya orang selama ini, Daendels selama masa pemerintahannya
memang memerintahkan pembangunan jalan di Jawa tetapi tidak dilakukan dari Anyer hingga Panarukan.
Jalan antara Anyer
dan Batavia
sudah ada ketika Daendels tiba. Oleh karena itu menurut het Plakaatboek van Nederlandsch Indie jilid 14, Daendels mulai membangun
jalan dari Buitenzorg menuju Cisarua
dan seterusnya sampai ke Sumedang.Pembangunan dimulai bulan Mei 1808. Di Sumedang,
proyek pembangunan jalan ini terbentur pada kondisi alam yang sulit karena
terdiri atas batuan cadas, akibatnya para pekerja menolak melakukan proyek
tersebut dan akhirnya pembangunan jalan macet. Akhirnya Pangeran Kornel turun
tangan dan langsung menghadap Daendels untuk meminta pengertian atas penolakan
para pekerja.
Ketika
mengetahui hal ini, Daendels memerintahkan komandan pasukan zeni Brigadir
Jenderal von Lutzow untuk mengatasinya. Berkat tembakan artileri, bukit padas
berhasil diratakan dan pembangunan diteruskan hingga Karangsambung. Sampai
Karangsambung, proyek pembangunan itu dilakukan dengan kerja upah. Para bupati
pribumi diperintahkan menyiapkan tenaga kerja dalam jumlah tertentu dan
masing-masing setiap hari dibayar 10 sen per orang dan ditambah dengan beras
serta jatah garam setiap minggu.
Setibanya di Karangsambung pada
bulan Juni 1808, dana tiga puluh ribu gulden yang disediakan Daendels untuk
membayar tenaga kerja ini habis dan di luar dugaannya, tidak ada lagi dana
untuk membiayai proyek pembangunan jalan tersebut. Ketika Daendels berkunjung
ke Semarang pada pertengahan Juli 1808, ia mengundang semua bupati di pantai
utara Jawa. Dalam pertemuan itu Daendels menyampaikan bahwa proyek pembangunan
jalan harus diteruskan karena kepentingan mensejahterakan rakyat (H.W.
Daendels, Staat van Nederlandsch Indische Bezittingen onder bestuur van
Gouverneur Generaal en Marschalk H.W. Daendels 1808-1811, 's Gravenhage, 1814).
Para bupati diperintahkan menyediakan tenaga kerja dengan konsekuensi para
pekerja ini dibebaskan dari kewajiban kerja bagi para bupati tetapi mencurahkan
tenaganya untuk membangun jalan. Sementara itu para bupati harus menyediakan
kebutuhan pangan bagi mereka. Semua proyek ini akan diawasi oleh para prefect
yang merupakan kepala daerah pengganti residen VOC. Dari hasil kesepakatan itu,
proyek pembangunan jalan diteruskan dari Karangsambung ke Cirebon. Pada bulan
Agustus 1808 jalan telah sampai di Pekalongan. Sebenarnya jalan yang
menghubungkan Pekalongan hingga Surabaya
telah ada, karena pada tahun 1806 Gubernur Pantai Timur Laut Jawa Nicolaas
Engelhard telah
menggunakannya untuk membawa pasukan Madura dalam rangka menumpas pemberontakan
Bagus Rangin
di Cirebon (Indische Tijdschrift, 1850). Jadi Daendels hanya melebarkannya.
Tetapi ia memang memerintahkan pembukaan jalan dari Surabaya sampai Panarukan
sebagai pelabuhan ekspor paling ujung di Jawa Timur
saat itu.
Kontroversi terjadi tentang
pembangunan jalan ini. Pada masa Daendels banyak pejabat Belanda yang dalam
hatinya tidak menyukai Perancis tetapi tetap setia kepada dinasti Oranje yang
melarikan diri ke Inggris. Namun mereka tidak bisa berbuat banyak karena
penentangan terhadap Daendels berarti pemecatan dan penahanan dirinya. Hal itu
menerima beberapa orang pejabat seperti Prediger (Residen Manado), Nicolaas
Engelhard (Gubernur Pantai Timur Laut Jawa) dan Nederburgh (bekas pimpinan
Hooge Regeering). Mereka yang dipecat ini kemudian kembali ke Eropa dan melalui
informasi yang dikirim dari para pejabat lain yang diam-diam menentang Daendels
(seperti Peter Engelhard Minister Yogya, F. Waterloo Prefect Cirebon, F.
Rothenbuhler, Gubernur Ujung Timur Jawa), mereka menulis keburukan Daendels.
Di antara tulisan mereka terdapat
proyek pembangunan jalan raya yang dilakukan dengan kerja rodi dan meminta banyak
korban jiwa. Sebenarnya mereka sendiri tidak berada di Jawa ketika proyek
pembangunan jalan ini dibuat. Ini terbukti dari penyebutan pembangunan jalan
antara Anyer dan Panarukan, padahal Daendels membuatnya dimulai dari
Buitenzorg. Sayang sekali arsip-arsip mereka lebih banyak ditemukan dan
disimpan di arsip Belanda, sementara data-data yang dilaporkan oleh Daendels
atau para pejabat yang setia kepadanya (seperti J.A. van Braam, Minister
Surakarta) tidak ditemukan kecuali tersimpan di Perancis karena Daendels
melaporkan semua pelaksanaan tugasnya kepada Napoleon setelah penghapusan
Kerajaan Belanda pada tahun 1810. Sejarawan Indonesia yang banyak mengandalkan
informasi dari arsip Belanda ikut berbuat kesalahan dengan menerima kenyataan
pembangunan jalan antara Anyer-Panarukan melalui kerja rodi.
|
Sebagai pengganti Danedels dikirimlah Jan Willem Janssen.
Ia mulai menjabat Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Jawa tahun 1811. Ia
kemudian memperbaiki keadaan yang ditinggalkan oleh Daendels. Namun Daerah
Kepulauan Maluku sudah berhasil direbut oleh Inggris. Bahkan secara de facto
daerah kekuasaan Hindia Belanda di masa Janssen itu tinggal daerah-daerah
tertentu, misaInya Jawa, Makasar, dan Palembang, dan ternyata
Janssens tidak secakap dan sekuat Daendels dalam melaksanakan tugasnya. Ketika
Inggris menyerang Pulau Jawa, ia menyerah dan harus menandatangani perjanjian
di Tuntang pada tanggal 17 September 1811. Perjanjian tersebut dikenal dengan
nama Kapitulasi Tuntang, yang berisi sebagai berikut.
a. Seluruh militer Belanda yang berada di wilayah Asia Timur harus
diserahkan kepada Inggris dan
menjaditawanan militer Inggris.
b. Hutang pemerintah Belanda tidak diakui oleh Inggris.
c. Pulau Jawa dan Madura serta semua pelabuhan Belanda di luar Jawa
menjadi daerah kekuasaan Inggris (EIC).